Beranda | Artikel
jimat tolak bala pembawa bencana
Kamis, 20 Juni 2019

At-Tauhid Edisi XV/23

– Untuk meraih keselamatan dan menghindari bala bencana, tidak sedikit yang melanggar syariat atau justru berbuat syirik.
– Ingin tolak bala, namun justru mendapat murka dari Allah Sang Maha Kuasa. Padahal, hanya Allah saja yang mampu menghilangkan bencana.
– Memakai jimat hukumnya haram dan merupakan kesyirikan. Mengenakan gelang dan semacamnya dalam rangka menolak bala atau menghilangkannya termasuk perbuatan syirik.
Barangsiapa menggantungkan jimat, maka dia telah berbuat syirik.” (H.R. Ahmad, sahih).
Hukum memakai jimat tergantung dari keyakinan pemakainya:
1. Syirik kecil, jika hanya diyakini sebagai sebab semata tanpa memiliki kekuatan sendiri, dan hanya akan berpengaruh atas kehendak Allah.
2. Syirik besar, jika diyakini bahwa jimat tersebut memiliki kekuatan tersendiri, bisa terjadi tanpa kehendak Allah.
– Jika ada kesulitan ataupun ingin menolak bala, mintalah kepada Allah. Di antaranya dengan 2 doa berikut:
1. “Alloohumma innii a’uudzu bika min zawaali ni’matik, wa tahawwuli ‘aafiyatik, wa fujaa-ati niqmatik, wa jamii’i sakhothik(H.R. Muslim)
2. “A’udzu bi kalimaatillaahit taammaati min syarri maa kholaq” (H.R. Muslim)

Setiap orang pasti menginginkan keselamatan dan ketentraman. Musibah dan bencana yang terjadi tentu akan menyusahkan dirinya. Berbagai cara digunakan untuk menangkal terjadinya bala bencana. Jika terlanjur terjadi bencana, berbagai upaya pun dilakukan untuk menghilangkannya.

Sayangnya, banyak yang keliru dalam upaya menolak bala. Tidak sedikit yang melakukan perbuatan yang melanggar syariat bahkan terjerumus dalam kesyirikan. Ingin tolak bala, namun justru mendapat murka dari Sang Maha Kuasa.

Ada beberapa contoh perbuatan yang banyak dilakukan masyarakat untuk menolak bala. Agar terhindar dari berbagai penyakit, anak kecil diberi gelang untuk menangkal penyakit. Agar rumahnya aman dari pencuri, digantungkan benda-benda sebagai jimat di atas pintu rumah. Agar selamat selama perjalanan, digantungkan benda-benda tertentu di mobil. Agar untungnya banyak, ada pedagang yang memasang aji penglaris di warungnya.

Bagaimana hukum Islam mengenai hal-hal tersebut? Simak dalam pembahasan berikut ini.

Hanya Allah Yang mampu mengilangkan bencana

Setiap muslim harus meyakini bahwasanya semua yang terjadi itu atas kehendak Allah, baik itu yang sudah terjadi maupun yang belum terjadi.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah, ‘Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?’ Katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.’” (Q.S. Az Zumar:38).

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa berhala-berhala tidak bisa memberikan manfaat dan menolak mudharat bagi penyembahnya. Hanya Allah saja yang mampu menghilangkan bencana.

Tolak bala yang mengundang murka

Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ada seseorang yang mengenakan gelang dari bahan kuningan, maka Nabi pun bertanya kepadanya, “Apa ini?”, orang itu menjawab, “Ini aku pakai sebagai penangkal sakit”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lepaskan saja itu, karena ia tidak akan menambah kepadamu kecuali kelemahan. Sungguh, jika engkau mati sementara gelang itu masih kau kenakan, niscaya engkau tidak akan selamat selama-lamanya.” (H.R. Ahmad, hasan).

Dalam hadits di atas Nabi melarang untuk menggunakan gelang sebagai penangkal penyakit. Pelajaran yang bisa dipetik dari hadits ini adalah bahwasanya orang yang mengenakan gelang dan semacamnya dalam rangka menolak bala atau menghilangkannya termasuk perbuatan syirik, karena Nabi bersabda, “Jika engkau mati sementara gelang itu masih kau kenakan niscaya engkau tidak akan selamat selama-lamanya”. Ditepisnya keselamatan menunjukkan bahwa orang yang melakukannya pasti mendapatkan kebinasaan dan kerugian.

Jimat tolak bala

Jimat atau tamimah pada masa jahiliyyah adalah sesuatu yang dikalungkan pada anak kecil atau binatang dengan maksud untuk menolak ‘ain (pengaruh buruk akibat pandangan yang disertai kedengkian). Namun, hakikat jimat tidak hanya terbatas hal tersebut. Jimat (tamimah) meliputi semua benda dari bahan apapun, baik yang dipakai, dikalungkan, maupun digantungkan di tempat manapun dengan maksud untuk mengusir atau menangkal marabahaya dengan berbagai macam bentuknya. Dengan demikian, jimat bisa berupa kalung, cincin, sabuk, atau benda-benda yang digantungkan pada tempat-tempat tertentu seperti di atas pintu rumah, kendaraan, dan lain-lain dengan maksud untuk menangkal marabahaya atau tolak bala.

Memakai jimat tolak bala termasuk syirik

Memakai jimat hukumnya haram dan merupakan kesyirikan. Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menggantungkan jimat, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya. Dan barangsiapa yang menggantungkan wada’ah (sejenis jimat), semoga Allah tidak memberi ketenangan pada dirinya.” (H.R. Ahmad).

Dalam hadits yang lain beliau bersabda, “Barangsiapa menggantungkan jimat, maka dia telah berbuat syirik.” (H.R. Ahmad, sahih).

Besar kecilnya hukum syirik tergantung dari keyakinan pemakainya

Jika jimat tersebut hanya diyakini sebagai sebab semata tanpa memiliki kekuatan sendiri, dan hanya akan berpengaruh atas kehendak Allah, maka ini termasuk syirik asghar (syirik kecil). Karena dalam hal ini orang tersebut telah mengambil sebab yang tidak terbukti dan tidak ada dalilnya samasekali. Memakai jimat untuk menolak bala termasuk mengambil sebab yang keliru karena tidak terbukti secara kauni (penelitian ilmiah -red), maupun syar’i (dalil agama -red). Mengambil sesuatu sebagai sebab padahal bukan sebab termasuk perbuatan syirik asghar.

Adapun jika dia meyakini bahwa jimat tersebut memiliki kekuatan tersendiri, bisa terjadi tanpa kehendak Allah Ta’ala, maka hal ini termasuk perbuatan syirik akbar (syirik besar). Dalam hal ini orang tersebut telah menyandarkan penciptaan kepada selain Allah, yang mana hal ini merupakan perbuatan syirik akbar.

Kesimpulannya, memakai jimat adalah perbuatan haram yang terlarang dan termasuk perbuatan syirik. Bisa termasuk syirik asghar maupun syirik akbar tergantung keyakinan seseorang terhadap jimat tersebut.

Menolak bala dengan berdoa

Jika ada kesulitan ataupun ingin menolak bala, maka kita diperintahkan meminta kepada Allah. Sebagaimana dapat kita renungkan dalam ayat (yang artinya), “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu dari kamu, tiba-tiba sebahagian dari pada kamu mempersekutukan Allah dengan (yang lain).” (Q.S. An Nahl: 53-54).

Di antara doa yang bisa kita panjatkan yaitu, “Alloohumma innii a’uudzu bika min zawaali ni’matik, wa tahawwuli ‘aafiyatik, wa fujaa-ati niqmatik, wa jamii’i sakhothik” (H.R. Muslim). Arti dari doa tersebut adalah, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya kenikmatan yang telah Engkau berikan, dari berubahnya kesehatan yang telah Engkau anugerahkan, dari siksa-Mu yang datang secara tiba-tiba, dan dari segala kemurkaan-Mu”. Doa ini berisi permintaan, di antaranya agar nikmat itu tetap ada dan terhindar dari penyakit.

Begitu juga yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika kita melewati tempat angker yang menakutkan, kita bisa juga membaca doa sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut, “Barangsiapa yang singgah di suatu tempat lantas ia mengucapkan, “A’udzu bi kalimaatillaahit taammaati min syarri maa kholaq” (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya)”, maka tidak ada sama sekali yang dapat memudharatkannya sampai ia berpindah dari tempat tersebut.” (H.R. Muslim).

Semoga Allah memberi hidayah pada kita untuk terus bertauhid dan menjauhkan kita dari segala macam perbuatan syirik. Wallahul musta’an.

Penulis : Ustaz dr. Adika Mianoki (Alumnus Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta).
Muroja’ah  : Ustaz Afifi Abdul Wadud, B.A.


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/bt1523/